Dalam kultur in vitro, penambahan
konsentrasi auksin endogen dilakukan dengan pemberian zat pengatur tumbuh
sintetis. Menurut Heddy (1989), zat pengatur tumbuh dibuat agar tanaman
memacu pembentukan fitohormon (hormon tumbuhan) yang sudah ada di dalam tanaman
atau menggantikan fungsi dan peran hormon bila tanaman kurang dapat memproduksi
hormon dengan baik. Davies (2004) juga menyatakan bahwa produksi auksin endogen
memerlukan energi yaitu ATP dan ATPase aktif, sintesis protein dan turgor.
Sehingga untuk perkembangan sel yang mendapatkan pasokan energi yang rendah
membutuhkan penambahan auksin sintetis. Auksin sintetis yang biasa digunakan
dalam kultur in vitro adalah Indoleacetid acid (IAA), Indolebuteryc acid (IBA),
Naftaleneacetid acid (NAA) dan Dicloropenoxi
acetat (2,4-D) (George and Sherington, 1984). Pemilihan jenis auksin sintetik dan konsentrasinya
bergantung dari tipe pertumbuhan yang dikehendaki, level auksin endogen,
kemampuan jaringan mensintesa auksin, pengaruh golongan zat tumbuh lain
(Gunawan, 1992).
Auksin berpengaruh besar terhadap aktifitas metabolisme (Hedden and Thomas,
2006) yang berkontribusi pada koordinasi dan integrasi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman sebagai respon fisiologis terhadap lingkungan (Hagen et al., 2004). Secara umum, peran
fisiologis auksin adalah mendorong pemanjangan sel, diferensiasi jaringan xilem
dan floem serta pembentukan akar (Pollard and Walker, 1990). Dalam kultur in vitro, peran auksin adalah untuk
merangsang pertumbuhan kalus, akar, pembelahan dan pemanjangan sel dan organ
(Pierik, 1987), dan memacu dominansi apikal pada jaringan meristem (Friml,
2003).
Auksin berfungsi dalam
pengembangan sel-sel yang ada di daerah belakang meristem (Dwijoseputro, 1992).
Sel-sel tersebut menjadi panjang-panjang dan banyak berisi air. Ternyata auksin
mempengaruhi pengembangan dinding sel, yang mengakibatkan berkurangnya tekanan
dinding sel terhadap protoplas. Karena tekanan dinding sel berkurang, protoplas
mendapat kesempatan untuk meresap air dari sel -sel yang ada di bawahnya,
karena sel-sel yang ada di dekat titik tumbuh mempunyai nilai osmosis yang
tinggi. Dengan demikian kita peroleh sel yang panjang dengan vakuola yang besar
di daerah belakang titik tumbuh.
Selain itu Gunawan (1992),
melaporkan bahwa pengaruh auksin terhadap pertumbuhan jaringan tanaman, diduga
melalui dua cara :
a.
Menginduksi sekresi ion H+ keluar sel
melalui dinding sel. Perangsangan dinding sel menyebabkan susunan matrix
dinding sel merenggang. Sebagai akibat dari merenggangnya susunan matrix
dinding sel, air masuk ke dalam sel, sehingga sel membesar.
b.
Mempengarui metabolisme RNA yang berarti
metabolisme protein, mungkin melalui transkripsi molekul RNA.
Campbell dan Reece (2002) menyatakan suatu hipotesis tentang proses
pemanjangan sel karena auksin yang disebut acid growth hypothesis. Auksin
menstimulasi pemompaan proton membran plasma di daerah pemanjangan tunas, dan
menyebabkan potensial membran (tekanan melewati membran) menjadi meningkat dan
menurunkan pH di dalam dinding sel. Pengasaman dinding sel tersebut mengaktifkan
enzim ekspansis. Enzim tersebut memecahkan ikatan hydrogen antara mikrofibril
sellulosa, dan melonggarkan struktur dinding sel. Penambahan potensial
membrane, akan meningkatkan pengambilan ion ke dalam sel, yang menyebabkan
pengambilan air secara osmosis. Pengabilan air, bersama dengan penambahan
plastisitas dinding sel yang memungkinkan sel untuk memanjang.
Dominansi apikal yang terjadi pada tumbuhan disebabkan karena adanya
auksin yang diproduksi secara endogen di daerah meristem pucuk, dan didistribusikan
secara polar dan terakumulasi pada tunas lateral sehingga pertumbuhan tunas
lateral menjadi terhambat (Nagarathna, et
al., 2010; Thimann, 1977). Menurut Burg and Burg (1965), akumulasi auksin
yang tinggi menyebabkan jaringan menstimulir etilen yang menyebabkan
penghambatan pertumbuhan tunas lateral. Pendapat lain menyebutkan bahwa
pengaruh dominansi apikal juga disebabkan karena adanya enzim sitokinin
oksidase (CKX) yang menon-aktifkan enzim IPT (Adenosine phosphate - Isopentenyl
Transferase) untuk biosintesis sitokinin (Shimizu-Sato et al., 2009). Enzim sitokinin oksidase dapat timbul karena adanya
pengaruh auksin (Carabelli et al.,
2007).
Dalam kaitannya
dengan pertumbuhan akar, Went dan Thimann (1934) dalam Salisbury and Ross (1995), telah melakukan penelitian yang
menyimpulkan bahwa pembentukan akar terkait dengan aktivitas auksin. Henry and
Norman (2003), juga menyatakan bahwa
auksin yang diproduksi pada tunas-tunas dan di transportasikan ke bagian akar,
memiliki peranan penting untuk perkembangan akar. Auksin merangsang pembentukan
akar baru dengan mematahkan dormansi apikal akar yang diinduksi oleh sitokinin.
Namun konsentrasi yang tinggi akan menghambat pemanjangan akar. Menurut Hastuti
et al. (2002), auksin dapat
memperlambat timbulnya senyawa-senyawa dalam dinding sel yang berhubungan
dengan pembentukan kalsium pektat, sehingga menyebabkan dinding sel menjadi
elastis, akibatnya sitoplasma lebih leluasa untuk mendesak dinding sel ke arah
luar dan memperluas volume sel sehingga mengalami pembentangan. Setelah
mengalami pembentangan, maka dinding sel akan menjadi kaku kembali karena
terjadi kegiatan metabolik berupa penyerapan ion Ca+ dari luar sel
yang akan menyempurnakan susunan kalsium pektat dalam dinding sel.
Pembentukan kalus pada eksplan, secara
fisiologi dipengaruhi oleh perubahan
genetik pada sel tanaman oleh auksin. Sel yang merespon auksin akan menyebabkan
dediferensiasi dan memacu pembelahan sel (George et al., 2008). Menurut Lo Schavio et al. (1989) auksin menyebabkan DNA menjadi lebih termetilasi dan
hal tersebut menyebabkan sel yang terdiferensiasi melakukan perombakan dan
penyusunan ulang dari struktur sel tersebut.
Kalus dipacu dengan penambahan
auksin dengan konsentrasi yang relatif tinggi. Menurut George et al. (2008), konsentrasi auksin tinggi
akan menghambat pembentukan klorofil
oleh sitokinin. Klorofil dapat memacu fase morfogenesis dari kalus. Hal
tersebut dikuatkan dengan penelitian Hildebrandt et al. (1963) yang menyatakan bahwa, dengan penambahan 2,4-D dapat
mereduksi dan menghambat adanya klorofil pada kultur kalus tanaman tomat, pea
dan kentang.
Untuk menginduksi embrio somatik,
biasanya menggunakan auksin dalam konsentrasi yang relatif tinggi khususnya 2,4-D
(Sung and Okimoto, 1981; Zimmerman, 1993; Cooke and Cohen, 1993; Jenik and
Barton, 2005; George et al., 2008). Menurut Jenik and Barton
(2005), pada percobaan dengan tanaman Arabidopsis,
pembentukan embrio somatik terjadi karena adanya ekspresi gen ARF (Auxin Response Factor) oleh
protein auksin (AUX/IAA). ARF merupakan faktor transkipsi yang memicu ekspresi
gen responsif auksin (Jisheng Li, 2006).