Kerangka Teori
Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) adalah salah satu anggota dari genus Saccharum dan famili tanaman rumput-rumputan (Graminae) yang merupakan tanaman asli tropika basah (Wrigley, 1981). Tanaman ini menjadi bahan baku utama dalam pembuatan gula. Hingga saat ini, gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia karena disamping sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat juga sebagai sumber kalori yang relatif murah (Goenardi et al., 2007). Namun berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) oleh Badan Pusat Statistik, produksi gula nasional pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 diproyeksikan akan terus meningkat rata-rata sebesar 2,96% per tahun, namun produksi gula dalam negeri diperkirakan baru mampu memenuhi tingkat konsumsi gula rumah tangga, tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan industri (Respati et al., 2010). Oleh sebab itu, pengembangan tanaman tebu perlu untuk dilaksanakan secara intensif, salah satunya adalah dengan pengembangan bibit yang berkualitas.
Perbanyakan mikro atau mikro propagasi secara in vitro merupakan alternatif dalam pengadaan bibit yang berkualitas. Menurut Pierik (1987); Gunawan (1992); George et al. (2008); Iliev et al. (2010), beberapa kelebihan dari penggunaan teknik kultur in vitro dibandingkan dengan cara konvensional yaitu: faktor perbanyakan tinggi, tidak tergantung pada musim karena lingkungan in vitro terkendali, bahan tanaman yang digunakan sedikit sehingga tidak merusak pohon induk, tanaman yang dihasilkan bebas dari penyakit meskipun dari induk yang mengandung pathogen internal, tidak membutuhkan tempat yang sangat luas untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak.
Perbanyakan mikro yang dilakukan secara in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik kultur, salah satunya adalah dengan teknik kultur kalus. Kultur kalus merupakan salah satu teknik dalam kultur in vitro. Kalus merupakan sekumpulan sel amorphous yang terjadi dari jaringan atau sel sel yang terdediferensiasi dan tidak terorganisir yang secara terus menerus akan membelah diri karena pengaruh hormon dan zat pengatur tumbuh (Pierik, 1987). Menurut Heartmann and Ketser (1983); Dodds and Roberts (1995), kalus dapat muncul karena ada jaringan yang mengalami pelukaan, dan biasanya munculnya kalus karena adanya interaksi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Secara umum kalus dapat muncul karena adanya infeksi dari agrobakterium tumifaciens atau akibat jaringan yang mengalami stress (George and Sherrington, 1984)
Prinsip dari kultur kalus adalah mendediferensiasi suatu jaringan agar sel-selnya dapat beregenerasi kembali untuk beberapa tujuan, seperti perbanyakan dan kloning tanaman melalui pembentukan organ dan embrio, regenerasi varian-varian genetika, mendapatkan tanaman bebas virus, sebagai sumber produksi protoplas, sebagai bahan awal untuk kreopreservasi, produksi metabolit sekunder dan biotransformasi (Zulkarnain, 2009).
Sel-sel penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai ikatan yang renggang dengan sel-sel lain (Halperin, 1969; George and Sherrington, 1984; Pierik, 1987). Dalam kultur jaringan, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan kadang-kadang juga sitokinin. Organ tersebut dapat berupa akar, batang, daun, bunga (Pierik, 1987). Kalus mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat membentuk plantlet.
Dalam perkembangannya, bentuk kalus dapat dibedakan berdasarkan tekstur dan sifat fisik. Berdasarkan tekstur, kalus dibedakan menjadi kalus kompak dan remah atau friable. Kalus kompak yaitu kalus yang terbentuk dari sekumpulan sel yang kuat dan keras yang terbentuk dari proses lignifikasi sel. Sedangkan kalus remah terdiri dari sel- sel lepas menjadi fragmen-fregmen kecil. Kalus kompak mempunyai kandungan polisakarida pada dinding sel yang tinggi, presentase selulosa rendah dibanding dengan pektin dan meiselulosa. Kandungan selulosa yang tinggi dapat meningkatkan sel lebih rigrid dan dapat menahan fragmentasi (Aitchison et al., 1977).
Berdasarkan perubahan ukuran sel, metabolisme dan penampakan kalus tersebut, proses perubahan eksplan menjadi kalus dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu, induksi, pembelahan dan diferensiasi. Pada tahap induksi, sel siap membelah, metabolisme menjadi aktif dan ukuran sel tetap konstan. Tahap pembelahan, sel aktif membelah atau bersifat meristematis terjadi penurunan ukuran sel. Pada tahap diferensiasi, ditandai dengan pembesaran sel, pembentukan vakuola dan penurunan laju pembelahan (Aitchison et al., 1977).
Pertumbuhan kalus terdiri dari lima fase yang dapat digambarkan dalam bentuk kurva sigmoid yaitu 1). Fase lag, sel siap untuk membelah; 2). Fase pertumbuhan eksponensial, pembelahan sel yang terjadi secara maksimal; 3). Fase pertumbuhan linear, terjadi penurunan kapasitas dalam pembelahan sel dan pembesaran sel; 4). Fase penurunan kecepatan tumbuh; 5). Fase stasioner atau periode tidak ada pertumbuhan, jumlah sel konstan. (Phillips and Hubstenberger, 1995).
Banyak peneliti melaporkan bahwa zat pengatur tumbuh yang efektif digunakan untuk menginduksi kalus tanaman tebu adalah 2.4-D (Gandonou et al., 2005; Ali et al., 2008). Selanjutnya Jalaja et al. (2008) menyatakan bahwa 2.4-D dengan konsentrasi 1-6 mg.l-1 efektif dalam menginduksi pembentukan kalus tanaman tebu. Rashid et al. (2009) berhasil mendapatkan sejumlah kalus tanaman tebu yang optimal dengan formulasi media MS + 2.4-D 2 mg.l-1. Sukmadjaja dan Mulyana (2011) dalam penelitiannya, juga menggunakan media MS + 2 mg.l-1 2,4-D + 0,4 mg.l-1 BAP + 2000 mg.l-1 Casein Hidrolisat (CH) untuk menginduksi kalus.