Dalam siklus sel, kedua hormon tersebut terlibat dalam tiap fase. Memasuki fase G1/S, sitokinin dan auksin berperan sebagai grow factor yang menginduksi protein D-type Cyclins (CYCD) dan A-type Cyclin-Dependent Protein Kinase (CDKA). Kedua protein tersebut mengawali siklus sel dan menjadi aktif karena proses fosforilasi (D’Agostino and Kieber, 1999; Riou-Khamlichi et al., 1999; Francis and Sorrell, 2000; Inze and De Veylder, 2006, Rechenmann, 2010). Pada fase ini auksin mampu mendegradasi CDK inhibitors (Kip-Related Proteins (KRP)), yang dapat menghambat aktifitas kedua protein tersebut (Himanen et al., 2002). Menurut Wang et al. (1998), Inze and De Veylder (2006), KRP dapat muncul karena ada rangsangan dari senyawa antimitogen seperti asam abisat (ABA) atau kondisi cekaman lingkungan yang menyebabkan tanaman menjadi stress. Lebih lanjut Verkest et al. (2005) menyatakan bahwa KRP secara alami dibutuhkan tanaman untuk deferensiasi sel.
Aktivasi CYCD dan CDKA menyebabkan Retino Blastoma-Related Protein (RBR) yang mengkikat protein E2FA/B and DPA (Dimerization Protein) menjadi terfosforilasi, sehingga protein tersebut dapat mengontrol ekspresi gen esensial memasuki fase sintesis (S). Pada fase tersebut, aktivitas CYCD dan CDKA menyebabkan protein E2FC dan DPB terfosforilasi. Akibatnya protein tersebut menjadi target ubiquitinasi oleh E3 ubiquitine ligase Skp1/Cullin/F-box protein (SCF) SKP2 dan akhirnya terdgradasi (del Pozo et al., 2006; Inze and De Veylder, 2006). Pada penelitian sebelumnya, del Pozo et al. (2002) melaporkan bahwa protein E2FC dan DPB yang tidak terdegradasi dapat menekan ekspresi gen pada fase S dan menghambat pembelahan sel.
Pada fase S, akumulasi auksin justru akan mendegradasi F-box protein SKP2, sehingga stabilitas protein E2FC dan DPB tetap terjaga. Hal ini akan menghambat pembelahan sel tetapi akan meningkatkan ukuran sel (del Pozo et al., 2002). Protein tersebut aktif pada sel yang terdiferensiasi (Jurado et al., 2008). Peristiwa ini terkait dengan aktivitas faktor transkripsi AUX/IAA (Tan et al., 2007; Han et al., 2009).
Memasuki Fase G2/M, melibatkan Cyclins (CYCs) dan Cyclin-Dependent Protein Kinase (CDKs) yang lebih komplek. Pada fase ini CDKs terfosforilasi oleh aktivitas enzim Tyrosine Kinase WEE1 untuk menghambat CYCs/CDKs masuk ke fase mitosis (M) (Inze and De Veylder, 2006). Enzim Tyrosine Kinase WEE1 dibutuhkan dalam fase G2/M untuk mengontrol CYCs/CDKs masuk ke fase M sebelum replikasi DNA selesai dilakukan, karena dalam fase ini terjadi perbaikan-perbaikan DNA jika mengalami kerusakan (De Schutter et al., 2007). Untuk memasuki fase M, sitokinin berperan mengaktivasi enzim phosphatase CDC25 untuk mendefosforilasi CDKs dari Tyrosine, sehingga CYCs/CDKs dapat kembali aktif melanjutkan ke fase M (Zhang et al., 2005).

Setelah terbentuk sel-sel baru, ada sebagian sel yang terdiferensiasi. Terkait dengan proses pemanjangan batang, perkembangan sel-sel tersebut diawali dengan peningkatan ukuran sel. Hal tersebut dapat juga disebabkan karena endoreduplikasi, yaitu penggandaan kromosom tanpa terjadinya sitokinesis. Ishida et al. (2010) menyatakan bahwa endoreduplikasi mengarahkan perkembangan sel tanaman dari proliferasi menuju deferensiasi, dan auksin berperan mengatur proses tersebut. Terkait dengan siklus sel, protein E2FC dan DPB dapat menghambat pembelahan sel, dan auksin berperan dalam menjaga stabilitas protein tersebut, sehingga siklus sel tidak melalui tahapan mitosis (del Pozo et al., 2002). 

Read More
Posted by Unknown on Sunday, March 23, 2014
0 comments
categories: | | edit post

Secara umum menurut Davies (2004); Srivastava (2001) peranan sitokinin adalah memacu pembelahan sel pada kalus, morfogenesis, pertumbuhan tunas lateral, perluasan permukaan daun yang dihasilkan dari pembelahan sel, mengawali perkembangan kloroplas. Sedangkan menurut Salisbury and Ross (1995), sitokinin juga mampu menunda penuaan tanaman.

a.    Pembelahan sel
Pada siklus sel, sitokinin berperan dalam mengatur pembelahan sel khususnya pada fase G2 dari mitosis. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan John et al. (1993) menyatakan bahwa sel tembakau segar yang diisolasi tanpa sitokinin mampu melintasi fase S tetapi tidak mampu berkembang ke tahap mitosis. Sitokinin berperan dalam aktifasi enzim phosphatase Cdc25 untuk mereduksi phospat. Keberadaan phospat akan menghambat enzim intraseluler cyclin-dependent protein kinase (CDK). Enzim CDK berperan dalam melepaskan transkripsi gen pada tahap replikasi DNA (Zhang et al., 2005).
Dalam aplikasinya, sitokinin sering digunakan bersama dengan auksin untuk berberapa tujuan, seperti pada sebuah penelitian mengenai mitosis dan pembelahan sel di jaringan tembakau yang dukulturkan, Das et al. (1985) dalam Fox (1989) memperlihatkan bahwa dengan penambahan IAA dapat terjadi sedikit mitosis di dalam jaringan, terutama di dalam sel-sel binukleat, ketika ditambahkan kinetin yang dikombinasikan dengan IAA ternyata mampu menginduksi banyak mitosis yang kemudian diikuti sitokinesis. Hal yang sama dikemukakan oleh Guttman (1956) dalam Fox (1989), bahwa kinetin terkadang bekerja selama proses antarfase mitosis dalam sel-sel akar bawang (Alium cepa) untuk memacu profase selanjutnya. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa, sitokinin berpengaruh terhadap pembelahan sel-sel dewasa di dalam korteks akar yang memacu penggandaan kromosom pada tanaman kacang polong (Pisum sativum cv. Alaska) (Torrey, 1961 dalam Fox, 1989).

b.    Pembesaran sel
Selain memacu pembelahan sel, sitokinin juga memacu pembesaran sel. Pembesaran sel disebabkan oleh serapan H2O dalam sel karena sitokinin mampu membuat membrane sel menjadi permeable (Liu et al., 1997; Rose and Rayle, 1982; Thomas et al., 1981). Selain itu menurut Rayle et al. (1982) kemampuan peningkatan  sitokinesis lebih kecil dibandingkan dengan penyerapan H2O oleh sitokinin.
Hal tersebut secara hampir bersamaan dikemukakan oleh tiga kelompok peneliti, bahwa pembesaran sel pada jaringan diskus daun kacang buncis yang layu meningkat luar biasa dengan terdapatnya kinetin (Miller, 1956; Kuraishi and Okumura, 1956; Scoot da Liverman, 1956 dalam Fox, 1989). Sejak penelitian ini, bukti peranan sitokinin dalam pembesaran sel makin bertambah, Arora et al., (1959) dalam Fox (1989) melaporkan bahwa sel-sel kortikal dari akar tembakau membesar sampai ukuran empat kali ukuran normal dengan terdapatnya kinetin.

c.    Pembentukan kloroplas
Kloroplas merupakan salah satu bentuk diferensiasi dari proplastid yang terkena cahaya. Menurut Nakano et al. (2001) ketika jaringan mesofil terkena cahaya, proplastid berkembang menjadi kloroplas dengan seluruh rangkaian fungsional fotosistem untuk fotosintesis, akan tetapi ketika ditempatkan pada tempat yang gelap menjadi etioplast. Proses diferensiasi sel tersebut tak lepas dari pengaruh aktifitas enzim yang mengatur ekspresi gen kloroplas. Menurut Okazaki et al. (2010), kloroplas tidak dapat membentuk dengan sendirinya, akan tetapi dikontrol oleh protein PVD (Plastid Division) yang mengkode gen inti. Protein tersebut dikontrol dengan adanya sitokinin yang menentukan banyak tidaknya protein yang terbentuk. Menurut Yaronskaya et al. (2006) juga menyatakan bahwa sitokinin mengatur biogenesis dan fungsi dari kloroplas yang mengatur ultrasturktur dari kloroplas, kegiatan enzim kloroplas, akumulasi pigmen dan laju fotosintesis. Zubo et al. (2008), melaporkan bahwa sitokinin (Benzyl adenine)  memacu aktifitas transkripsi gen kloroplas yang terlihat dari akumulasi mRNAs kloroplas dari daun barley muda berumur 9 hari.

d.    Pembentukan dan Perkembangan Tunas
Pembentukan tunas disebabkan karena sitokinin memberikan sinyal ke sitokinin reseptor untuk ekspresi gen komplek IPT (Adenosine phosphate - Isopentenyl Transferase) (Howel et al., 2003). Gen tersebut berperan dalam pembentukan sitokinin dan mengatur biosintesis (Miyawaki et al., 2004). Distribusi dari bioaktif sitokinin sangat menentukan perkembangan meristem untuk pembentukan tunas (Kurakawa et al., 2007).
Pembentukan tunas lateral juga ditentukan oleh adanya sitokinin dalam media in vitro. Tanaka et al. (2006) menyatakan bahwa gen IPT terekspresi pada mata tunas yang berada pada batang setelah tunas apikal dipotong. Menurut Geroge et al. (2008), penggunaan sitokinin dengan konsentras tinggi cenderung meningkatkan jumlah tunas akan tetapi tunas tersebut berukuran pendek. Turnbull et al. (1997) dalam percobaan dengan memotong tunas apikal tanaman buncis. Ternyata dalam kurun waktu 6 jam kadar sitokinin dalam tunas ketiak meningkat 7 kalilipat dan diiringi dengan pemanjangan tunas aksilar yang terdapat pada ketiak daun. Menurut Hopkins and Huner (2004), akumulasi sitokinin dalam ketiak daun berasal dari akar sebagai organ penghasil sitokinin, kemudian di translokasikan ke seluruh bagian tanaman khususnya pada jaringan meristem melalui xilem.

Peranan sitokinin banyak dikaitkan dengan adanya auksin yang berperan sinergis terhadap perkembangan sel untuk morfogenesis (George et al., 2008). Hal tersebut dibuktikan dengan hasil-hasil penelitian yang membuktikan adanya peranan dari kedua zat pengatur tumbuh ini terhadap pertumbuhan. Weier et al. (1974) dalam Abidin (1990) mengemukakan bahwa dalam perbandingan sitokinin lebih besar dibandingkan dengan auksin, akan memperlihatkan stimulasi pertumbuhan tunas dan daun, sebaliknya apabila sitokinin lebih rendah dari auksin, akan mengakibatkan stimulasi pada pertumbuhan akar. Sedangkan apabila perbandingan sitokinin dan auksin berimbang, maka pertumbuhan tunas, daun dan akar akan berimbang pula. Tetapi bila konsentrasi sitokinin sedang dan konsentrasi auksin lebih rendah maka akan membentuk kalus.

Gambar Konsentrasi relatif penggunaan sitokinin dan auksin untuk morfogenesis


Read More
Posted by Unknown on
4 comments
categories: | | edit post

About The Author

Visitors

Followers

Pagerank

Popular Posts