Artikel review dari penelitian yang berjudul Responses of Arabica coffee (Coffea arabica L. var. Catuaí) cell suspensions to chemically induced mutagenesis and salinity stress under in vitro culture conditions
Peneliti: Alejandro Bolívar-González, Marta Valdez-Melara, Andrés Gatica-Arias
Publikasi pada jurnal Q2: In Vitro Cellular & Developmental Biology – Plant; Volume 54, pages 576–589, (2018)
DOI: 10.1007/s11627-018-9918-x



Sepdian Luri Asmono
Program Studi Doktor Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jember


PENDAHULUAN: Ancaman tanah salin pada tanaman kopi

Kopi Arabika (Coffea arabica L.) itu bukan cuma sekadar minuman biasa, tapi juga komoditas perkebunan yang super penting. Bayangkan, jutaan petani menggantungkan hidupnya dari kopi ini, dan ekonomi dunia pun ikut berputar karena kopi. Data dari ICO tahun 2016 menunjukkan bahwa lebih dari 150 juta karung kopi diperjualbelikan setiap tahunnya.

Tapi, dibalik kesuksesan itu, kopi Arabika sedang menghadapi masalah besar: perubahan iklim. Riset dari Ovalle-Rivera di tahun 2018 meramalkan kalau kenaikan suhu dan hujan yang jadi enggak menentu bakal bikin lahan yang cocok untuk menanam kopi berkurang sampai 50% di tahun 2050. Salah satu bahaya terbesar yang muncul adalah peningkatan salinitas, alias kadar garam yang makin tinggi di tanah pertanian. Kondisi ini bisa terjadi karena terus-menerus memakai pupuk kimia. Akibatnya fatal buat tanaman kopi. Garam itu bikin tanaman susah menyerap air dan nutrisi esensial yang penting buat tumbuh. Akhirnya, pertumbuhan terhambat, produktivitas menurun, dan kualitas biji kopi pun jadi kurang bagus. Penumpukan ion garam, terutama NaCl, bisa menyebabkan stres osmotik (semacam "kehausan" di level sel), ketidakseimbangan ion, bahkan sampai merusak sel-sel tanaman.

Mengingat betapa rentannya kopi Arabika terhadap masalah lingkungan dan penyakit (seperti penyakit karat daun kopi), maka mengembangkan varietas kopi yang toleran salinitas jadi keharusan demi menjaga keberlanjutan produksi, terutama di daerah pesisir dan lahan yang kondisinya kurang ideal. Biasanya, untuk mendapatkan sifat tahan penyakit atau tahan garam ini, kita melakukan pemuliaan konvensional (kawin silang tanaman). Tapi, cara ini seringkali makan waktu sangat lama dan terkendala oleh terbatasnya keragaman genetik alami yang bisa dimanfaatkan. Karena itulah, pendekatan bioteknologi, seperti mutagenesis (membuat perubahan genetik secara sengaja) dan seleksi in vitro (memilih tanaman yang unggul di dalam laboratorium), jadi sangat penting untuk menciptakan tanaman kopi yang tahan terhadap cekaman salinitas atau kadar garam tinggi.

Read More
Posted by Sepdian Luri A on Thursday, June 12, 2025
1 comments
categories: | | edit post

Kerangka Teori

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) adalah salah satu anggota dari genus Saccharum dan famili tanaman rumput-rumputan (Graminae) yang merupakan tanaman asli tropika basah (Wrigley, 1981). Tanaman ini menjadi  bahan baku utama dalam pembuatan gula. Hingga saat ini, gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia karena disamping sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat juga sebagai sumber kalori yang relatif murah (Goenardi et al., 2007). Namun berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) oleh Badan Pusat Statistik, produksi gula nasional pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 diproyeksikan akan terus meningkat rata-rata sebesar 2,96% per tahun, namun produksi gula dalam negeri diperkirakan baru mampu memenuhi tingkat konsumsi gula rumah tangga, tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan industri (Respati et al., 2010). Oleh sebab itu, pengembangan tanaman tebu perlu untuk dilaksanakan secara intensif, salah satunya adalah dengan pengembangan bibit yang berkualitas.
Perbanyakan mikro atau mikro propagasi secara in vitro merupakan alternatif dalam pengadaan bibit yang berkualitas. Menurut Pierik (1987); Gunawan (1992); George et al. (2008); Iliev et al. (2010), beberapa kelebihan dari penggunaan teknik kultur in vitro dibandingkan dengan cara konvensional yaitu: faktor perbanyakan tinggi, tidak tergantung pada musim karena lingkungan in vitro terkendali, bahan tanaman yang digunakan sedikit sehingga tidak merusak pohon induk, tanaman yang dihasilkan bebas dari penyakit meskipun dari induk yang mengandung pathogen internal, tidak membutuhkan tempat yang sangat luas untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak.
Perbanyakan mikro yang dilakukan secara in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik kultur, salah satunya adalah dengan teknik kultur kalus. Kultur kalus merupakan salah satu teknik dalam kultur in vitro. Kalus merupakan sekumpulan sel amorphous yang terjadi dari jaringan atau sel sel yang terdediferensiasi dan tidak terorganisir yang secara terus menerus akan membelah diri karena pengaruh hormon dan zat pengatur tumbuh (Pierik, 1987). Menurut Heartmann and Ketser (1983); Dodds and Roberts (1995), kalus dapat muncul karena ada jaringan yang mengalami pelukaan, dan biasanya munculnya kalus karena adanya interaksi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Secara umum kalus dapat muncul karena adanya infeksi dari agrobakterium tumifaciens atau akibat jaringan yang mengalami stress (George and Sherrington, 1984)
Prinsip dari kultur kalus adalah mendediferensiasi suatu jaringan agar sel-selnya dapat beregenerasi kembali untuk beberapa tujuan, seperti perbanyakan dan kloning  tanaman melalui pembentukan organ dan embrio, regenerasi varian-varian genetika, mendapatkan tanaman bebas virus, sebagai sumber produksi protoplas, sebagai bahan awal untuk kreopreservasi, produksi metabolit sekunder dan biotransformasi (Zulkarnain, 2009).
Sel-sel penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai ikatan yang renggang dengan sel-sel lain (Halperin, 1969; George and Sherrington, 1984; Pierik, 1987). Dalam kultur jaringan, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan kadang-kadang juga sitokinin. Organ tersebut dapat berupa akar, batang, daun, bunga (Pierik, 1987). Kalus mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat membentuk plantlet.
Dalam perkembangannya, bentuk kalus dapat dibedakan berdasarkan tekstur dan sifat fisik. Berdasarkan tekstur, kalus dibedakan menjadi kalus kompak dan remah atau friable. Kalus kompak yaitu kalus yang terbentuk dari sekumpulan sel yang kuat dan keras yang terbentuk dari proses lignifikasi sel. Sedangkan kalus remah terdiri dari sel- sel lepas menjadi fragmen-fregmen kecil. Kalus kompak mempunyai kandungan polisakarida pada dinding sel yang tinggi, presentase selulosa rendah dibanding dengan pektin dan meiselulosa. Kandungan selulosa yang tinggi dapat meningkatkan sel lebih rigrid dan dapat menahan fragmentasi (Aitchison et al., 1977).
Berdasarkan perubahan ukuran sel, metabolisme dan penampakan kalus tersebut, proses perubahan eksplan menjadi kalus dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu, induksi, pembelahan dan diferensiasi. Pada tahap induksi, sel siap membelah, metabolisme menjadi aktif dan ukuran sel tetap konstan. Tahap pembelahan, sel aktif membelah atau bersifat meristematis  terjadi penurunan ukuran sel. Pada tahap diferensiasi, ditandai dengan pembesaran sel, pembentukan vakuola dan penurunan laju pembelahan (Aitchison et al., 1977).
Pertumbuhan kalus terdiri dari lima fase yang dapat digambarkan dalam bentuk kurva sigmoid yaitu 1). Fase lag, sel siap untuk membelah; 2). Fase pertumbuhan eksponensial, pembelahan sel yang terjadi secara maksimal; 3). Fase pertumbuhan linear, terjadi penurunan kapasitas dalam pembelahan sel dan pembesaran sel; 4). Fase penurunan kecepatan tumbuh; 5). Fase stasioner atau periode tidak ada pertumbuhan, jumlah sel konstan. (Phillips and Hubstenberger, 1995).
            Banyak peneliti melaporkan bahwa zat pengatur tumbuh yang efektif digunakan untuk menginduksi kalus tanaman tebu adalah 2.4-D (Gandonou et al., 2005; Ali et al., 2008). Selanjutnya Jalaja et al. (2008) menyatakan bahwa 2.4-D dengan konsentrasi 1-6 mg.l-1 efektif dalam menginduksi pembentukan kalus tanaman tebu. Rashid et al. (2009) berhasil mendapatkan sejumlah kalus tanaman tebu yang optimal dengan formulasi media MS + 2.4-D 2 mg.l-1. Sukmadjaja dan Mulyana (2011) dalam penelitiannya, juga menggunakan media MS + 2 mg.l-1 2,4-D + 0,4 mg.l-1 BAP + 2000 mg.l-1 Casein Hidrolisat (CH) untuk menginduksi kalus.

Read More
Posted by Sepdian Luri A on Wednesday, March 19, 2014
0 comments
categories: | | edit post



Secara umum, prinsip dasar kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. Menurut Yusnita (2004), kultur jaringan didefinisikan sebagai usaha mengisolasi, menumbuhkan, memperbanyak dan meregenerasikan protoplas (bagian hidup dari sel), atau bagian tanaman seperti meristem, tunas, daun muda, batang muda, ujung akar, kepala sari, dan bakal buah dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap.
Teknik kultur jaringan merupakan alternatif perbanyakan tanaman jabon yang sangat efektif menghasilkan bibit berkualitas dalam jumlah banyak dengan waktu relatif singkat. Keuntungan menggunakan teknik kultur jaringan diantaranya adalah untuk memperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau lambat diperbanyak secara konvensional, memerlukan waktu yang singkat untuk mendapatkan bibit yang banyak, tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa tergantung musim, bibit yang dihasilkan lebih sehat dan memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik (Yusnita, 2004).  Secara umum, ada beberapa kendala yang sering dihadapi dalam kultur jaringan tanaman berkayu, yaitu : a). Keberhasilan teknik ini pada jenis tanaman tersebut masih rendah sehingga aplikasinya masih terbatas pada jenis tanaman tertentu saja, b). Kapasitas regenerasi menurun bila sering dilakukan pembaharuan, c). Penurunan integritas genetik pada bibit yang dihasilkan, d). Persentase keberhasilan aklimatisasi pada tanaman tahunan berkayu relatif masih rendah, dan e). Adanya patogen internal yang sulit dihilangkan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).











Metode kultur yang sering diterapkan dalam kultur jaringan jabon adalah kultur pucuk menggunakan tunas yang mengandung meristem pucuk (apikal dan lateral). Menurut George et al. (2008), teknik kultur dengan menggunakan tunas aksilar paling banyak digunakan karena metode ini paling efektif dan memiliki keberhasilan tinggi untuk perbanyakan tanaman. Metode ini juga merupakan metode yang paling banyak diterapkan untuk produksi masal tanaman kayu (Lineberger, 1980). Tujuan dari kultur pucuk adalah perangsangan dan perbanyakan tunas-tunas atau cabang-cabang aksilar. Proses penggandaan tunas sangat tergantung pada konsentrasi zat pengatur tumbuh sitokinin pada media kultur (Iliev et al., 2010). Tunas-tunas yang berhasil tumbuh dapat di subkultur atau diperbanyak lagi atau dapat diakarkan dan ditumbuhkan dalam kondisi in vivo.
Penelitian kultur jaringan untuk tanaman jabon belum banyak dipublikasi, akan tetapi ada beberapa peniliti yang telah melakukan kultur jaringan tanaman jabon. Apurva dan Thakur (2009) yang telah berhasil membentuk embrio somatik dan induksi akar dari kalus jabon dengan menggunakan media MS + KIN (23.2 μM) + NAA (2.7 μM) dan air kelapa (15%), selain itu Kavita et al. (2009) juga telah melakukan induksi tunas menggunakan eksplan tunas apikal dan nodul dari pohon jabon dan melaporkan bahwa dengan penggunaan MS+ BAP dengan konsentrasi tinggi (2,5; 5,0 dan 10 mg/l) terjadi peningkatan jumlah tunas per eksplan, akan tetapi pemanjangannya terhambat. Maharia dan Setiawan (2010), juga telah melakukan induksi tunas jabon dengan manggunakan media MS+ BAP 1 mg/l.

Read More
Posted by Sepdian Luri A on Monday, February 11, 2013
6 comments
categories: | | edit post

Penelitian mengenai teknologi benih buatan telah dimulai untuk mengatasi kendala bagi tanaman yang penyediaan benihnya terbatas dan tanaman yang memiliki keragaman genetik. Benih buatan juga dikenal dengan benih sintetik atau atau benih somatik yang memanfaatkan embrio somatik atau sel-sel somatik yang mampu tumbuh dan berkembang membentuk struktur embrio zigotik dengan sifat-sifat embrio somatik.


Konsep produksi dan pemanfaatan benih sintetik pertama kali dikemukakan oleh Murashige tahun 1977 (Cyr, 2000) dan dikembangkan oleh Radenbaugh et al., (1984) yang pertama kali memproduksi benih sintetik dari embrio somatik tanaman alfalfa. Benih sintetik dapat diproduksi dengan pelapisan dalam gel yang berbahan dasar alginat (Redenbaugh et al., 1993). Keberhasilan pemanfaatan benih sintetik sebagai propagul, membutuhkan suatu sistem produksi yang berkelanjutan agar memiliki daya vigor yang tinggi. Kapsul gel yang mengandung nutrisi, pestisida dan organisme menguntungkan telah lama dianggap sebagai pengganti kulit biji dan endosperm (Bajaj, 1995).

Benih sintetik didefinisikan sebagai embrio somatik, tunas, agregat sel, atau jaringan lain yang dikemas dalam hydrogel dan dapat disemai sebagai benih yang memiliki kemampuan untuk menjadi tanaman di bawah kondisi in vitro atau ex vitro serta dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama (Capuano et al., 1998). Produksi benih sintetik adalah teknik yang potensial untuk perbanyakan tanaman dan pelestarian, terutama tanaman komersial budidaya yang tidak menghasilkan benih, tanaman transgenik dan tanaman lain yang perlu dijaga sifat-sifat unggulnya (Saiprasad, 2001). Dalam cakupan yang lebih sempit, benih sintetik diartikan sebagai bulir-bulir kapsul gel yang dapat berisi semua jenis eksplan dan memiliki kemampuan untuk berkecambah (Nhut et al., 2005). Produksi benih buatan adalah teknik yang digunakan untuk menyebarkan dan melestarikan tanaman dan telah diterapkan pada banyak tanaman (Wang dan Qi, 2010).

Benih sintetik dimanfaatkan dalam menggandakan tanaman yang direkayasa secara genetis (tanaman transgenik), hibrida somatis dan cytoplasmic (yang didapatkan melalui teknik fusi protoplas. Selain itu, benih sintetik dapat berguna untuk pemeliharaan  genotip khusus yang diinginkan (cryopreservation). Juga berguna sebagai alat untuk penelitian percobaan mempelajari proses embryogenesis zigotik dan memahami role dari endosperm dalam perkembangan embrio normal dan perkecambahan. Benih sintetik mampu disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama tanpa kehilangan viabilitasnya, memudahkan dalam transportasi dan mudah dikemas pada saat penyimpanan (Saiprasad, 2001). Secara ekonomi, benih sintetik dimaksudkan untuk diproduksi dalam skala besar dari berbagai tanaman unggul (Bapat, 1993).

Dalam aplikasinya, telah banyak dilakukan studi untuk mempelajari bagaimana membuat, memelihara dan menyimpan benih sintetik. Seperti yang telah dilakukan Kitto and Janick (1982) dalam Bhojwani and Razdan (1996) yang menggunakan  embriosomatik tanaman wortel sebagai model studi pembuatan benih sintetik. Menurut Radenbough and Ruzin (1988), beberapa hal yang harus diperhatikan dalam produksi benih sintetik antara lain:
  1. Kualitas embrio somatik harus dapat dijaga. Pembentukan embriosomatik dari kultur in-vitro diharapkan mampu mencapai 95%.
  2. Viabilitas embrio harus dijaga agar tetap tinggi setelah penyimpanan dan pertumbuhan embrio somatik yang di enkapsulasi setelah aklimatisasi.
  3. Sorting embrio: dibutuhkan embrio yang homogen untuk membuat keseragaman benih sintetik.
  4. Proses kapsulasi :

o    Penentuan kekerasan gel yang ideal untuk kapsul benih tertentu yang terkait dengan kemudahan handling
o    Komposisi nutrisi yang cukup untuk embrio dan fungsi kapsul sebagai pelindung embrio dari serangan mikroorganisme serta tidak bersifat toksik bagi embrio somatik.
5. Preservasi: bagaimana mengkombinasikan metode preservasi (penyimpangan) embriosomatik dengan metode kapsulasi.

Namun demikian, teknik ini belum berhasil dilakukan pada semua jenis tanaman, disamping itu umumnya sistem embrio somatik yang berhasil dilakukan pada beberapa tanaman jumlahnya masih sedikit. Menurut Bapat (1993), beberapa masalah utama yang sering terjadi dalam benih sintetik yaitu : 1) banyak planlet yang abnormal, 2) tanaman tidak mampu bertahan hidup. 3) tanaman mengalami nekrosis meristem akar dan berbatang lunak 4) tanaman terlambat pertumbuhannyadan sifat toleran terhadap kondisi lingkungan sub-obtimal selama tumbuh menurun, 6) tanaman semakin bersifat rentan terhadap mikroba.

Terdapat dua tipe benih sintetik yang telah dikembangkan yaitu hydrated artificial seed dan desicated artificial seed (Bhojwani and Razdan, 1996). Hydrated artifical seed terdiri dari embriosomatik tunggal yang diselubungi dengan hydrogel salah satunya dengan selubung calcium alginat. Embrio bercampur dengan calcium alginat dan dimasukan ke dalam larutan garam calcium untuk membentuk kapsul. Menurut Radenbough et al. (1991), metode enkapsulasi dengan hydrogel menjadi metode yang paling banyak digunakan dalam produksi benih sintetik. Sedangkan desicated artificial seed dibuat dengan memberikan perlakuan desikasi pada embriosomatik tunggal, akar dan kalus. Menurut Kitto and Janick (1982) dalam Bhojwani and Razdan (1996), embrio somatik wortel yang telah mengalami proses desikasi pada suhu 4oC dan kelembaban 45% dapat disimpan dalam jangka waktu 8 bulan tanpa terjadi penurunan viabilitas.

Read More
Posted by Sepdian Luri A on Thursday, February 7, 2013
0 comments
categories: | | edit post

1. Organisasi Dalam Laboratorium Kultur Jaringan 
Di setiap laboratorium dimana teknik kultur jaringan digunakan harus mempunyai sejumlah fasilitas yang mencakup al.:
- Ruang pencucian
- Ruang persiapan media, sterilisasi dan penyimpanan
- Ruang transfer aseptik
- Ruang kultur atau inkubator yang lingkungannya terkontrol
- Ruang pengamatan dan koleksi data Diagram laboratorium kultur jaringan dapat dilihat pada gambar B-2.1.

a. Ruang Pencucian 
Ruang pencucian harus mempunyai bak cuci, meja kerja yang terbuat dari bahan yang tahan terhadap asam dan basa, rak pengering dan mempunyai saluran untuk air demineralisasi atau destilasi, ruang untuk tempat oven pengering, alat/mesin pencuci dan pengering, serta rak atau lemari penyimpanan alat.

b. Ruang Persiapan Media 
Di dalam ruang persiapan media harus tersedia tempat untuk penyimpanan bahan-bahan kimia, gelas kultur dan penutupnya, dan peralatan gelas yang diperlukan untuk pembuatan media. Meja yang kokoh atau ”bench” untuk penyimpanan ”hot plate magnetic stirrer”, pH meter, timbangan, dan dispenser harus tersedia. Peralatan lain yang biasanya ada di ruang persiapan dan pembuatan media antara lain alat vaccum, distiling unit, bunsen, refrigerator (kulkas) dan freezer untuk penyimpanan larutan stok dan bahan kimia, mikrowave, kompor gas, oven dan autoclave untuk sterilisasi mdia, peralatan gelas dan peralatan lain. Didalam pembuatan media kultur, bahan-bahan kimia yang digunakan harus yang bertaraf analitik dan penimbangannya harus baik dan benar. Agar lebih akurat, dalam pembuatan media harus dilakukan tahap demi tahap dan bahan-bahan yang digunakan harus di ”checklist”. Air yang digunakan dalam pembuatan media harus berkualitas tinggi yang mempunyai tingkat kemurnian yang tinggi. Air ledeng atau sumur tidak digunakan untuk pembuatan media karena mengandung kation-kation (amonium, kalsium, besi, magnesium natrium, dll.), anion-anion (bikarbonat, klorida, flourida, fosfat, dll.), mikroorganisme (algae, jamur, bakteri), gas-gas (oksigen, CO2, nitrogen) dan bahan-bahan lain (minyak, bahan organik dll.). Air yang digunakan dalam kultur jaringan harus mempunyai standar type II (minimum) yaitu bebas pirogen, gas, dan bahan organik dan mempunyai konduktivitas elektrik kurang dari 1.0 µmho/cm. gambar Metoda yang paling umum untuk pemurnian air standar type II adalah dengan deionosasi yang diikuti dengan satu atau dua destilasi gelas. Deionisasi menghilangkan dari bahan yang bersifat ionik dan proses destilasi menghilangkan molekul-molekul organik, mikroorganisme dan pirogen. Metode-metode lain yang dapat digunakan untuk mendapatkan air murni type II adalah
(1) penyaringan dengan cara absorpsi, dengan menggunakan karbon aktif untuk menghilangkan kontaminan organik dan bebas klorine;
(2) penyaringan dengan membran, yang menghilangkan bahan-bahan partikulat dan kontaminasi oleh bakteri; dan
(3) reverse osmosis, yang menghilangkan sekitar 99% bakteri, bahan organik dan bahan partikulat.

c. Ruang Transfer 
Teknik kultur jaringan dapat berlangsung dengan sukses apabila dilakukan dibawah kondisi laboratorium yang sangat bersih. Oleh karena itu pemindahan atau transfer biakan dikerjakan dalam ruang transfer steril atau laminar air flow. Laminar air flow yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman adalah tipe horizontal dan dirancang dengan mempunyai ruangan yang bebas dari partikel debu yang halus dan dilengkapi dengan sinar ultra violet (UV) serta unit penyaring udara. Penyaring udara harus mempunyai filter udara dengan efisiensi tinggi atau ”high-efficiency particulate air (HEPA filter). HEPA filter harus mempunyai pori sekitar 0.3 µm dengan efisiensi kerja berkisar 99.97 – 99.99%. Semua permukaan ruang kerja dalam laminar harus dirancang dan mempunyai konstruksi sedemikian rupa sehingga debu dan mikroorganisme tidak dapat berakumulasi dan permukaan tempat kerja dapat mudah dibersihkan dan diidisinfeksi.

d. Ruang Kultur 
Semua jenis kultur harus disimpan dalam tempat yang terkontrol baik temperatur, sirkulasi udara, kelmbaban maupun kualitas dan lamanya cahaya. Faktor-faktor lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pertumbuhan dan diferensiasi biakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kultur protoplas, suspensi sel dan kultur anther adalah yang paling sensitif terhadap kondisi lingkungan. Suhu ruang kultur untuk pertumbuhan umumnya berkisar antara 15o – 30oC, dengan fluktuasi kurang dari ±0.5oC; akan tetapi kisaran suhu yang lebih besar mungkin diperlukan untuk tujuan percobaan. Ruang kultur harus mempunyai pencahayaan hingga 10.000 lux. Suhu dan cahaya harus dapat diprogram selama 24 jam. Ventilasi udara harus baik dengan kelembaban berkisar 20-98%.

2. Peralatan dan Bahan Dasar Dalam Laboratorium Kultur Jaringan 
Peralatan yang diperlukan dari suatu laboratorium umumnya adalah sbb.:
1. Hot plate/magnetic stirrer atau kompor
2. Peralatan gelas (gelas ukur, erlenmeyer) atau stainless steel untuk memanaskan dan melarutkan media
3. Alat sterilisasi dengan tekanan uap (autoclave)
4. pH meter
5. Timbangan (analitical dan bench top loading)
6. Gelas ukur gradual
7. Botol kultur dengan penutupnya
8. Dispenser
9. Alat diseksi (spatula, scalpel (pinset), forcep, gunting)
10. Refrigerator
11. Distiling unit atau water deionizer
12. Oven
13. Microwave
14. Mikroskop
15. Pipet ukur
16. Shaker
17. Laminar air flow
18. Disinfectant
19. Bahan kimia yang diperlukan untuk pembuatan media (Lampiran)
20. Dll.
Peralatan gelas yang digunakan di lab kultur jaringan umumnya terbuat dari Pyrex. Erlenmeyer dari berbagai ukuran (50, 125, 250, 500, 1000 atau 2000 ml) digunakan untuk wadah kultur dan pembuatan media. Tabung gelas, cawan petri, botol jam atau bekas selai juga sering digunakan sebagai botol kultur. Peralatan gelas tesebut harus tahan panas selama proses sterilisasi dengan oven atau autoclave. Peralatan gelas lain yang biasanya digunakan adalah gelas piala, gelas ukur, pipet dan labu ukur.

3. Prosedur Dasar Laboratorium 
Umumnya penggunaan operasional di lab perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan dapat dipelajari dengan mudah. Hal yang paling perlu diperhatikan adalah akurasi, kebersihan dan keamanan saat bekerja dengan teknik kultur jaringan. Penimbangan Pada saat pembuatan media, semua bahan yang ditimbang harus dilakukan dengan hati-hati meskipun untuk pembuatan media dalam skala komersial. Setiap penggunaan timbangan atau alat-alat lain harus memperhatikan instruksi dari pabrikannya.

Jenis timbangan yang sering digunakan di lab antara lain top-loading balance dan analytical balance yang memungkinkan akurasi penimbangan hingga skala milligram. Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan agar diperoleh penimbangan yang akurat adalah (i) timbangan harus ditempatkan pada tempat yang keras, stabil, permukaannya rata yang bebas getaran dan kebocoran, (ii) daerah sekitar penimbangan harus terjaga kebersihannya, (iii) yang terpenting lagi, penimbangan jangan sampai pernah overload, (iv) penimbangan disarankan menggunakan wadah atau alas yang ringan atau kertas daripada menempatkan bahan yang ditimbang secara langsung di atas piring timbangan.

Pengukuran cairan/larutan Peralatan gelas yang mempunyai ukuran seperti gelas piala, erlenmeyer dan pipet diperlukan untuk pembuatan media. Gelas ukur kapasitas 10, 25, 100 dan 1000 ml banyak digunakan untuk mengukur volume, tetapi pengukuran yang lebih akurat diperlukan labu ukur dan pipet. Pengukuran larutan dengan menggunakan pipet dan labu ukur hanya akan akurat apabila bagian dasar dari cekungan antara air dan udara berada tepat pada tanda pengukuran. Penggunaan pipet harus dibantu dengan alat penghisap larutan (pipetor). Jangan pernah menggunakan mulut untuk memipet. Jenis-jenis pipetor yang umum digunakan antara lain (i) tipe bola penghisap yang dilengkapi dengan beberapa katup pengontrol, (ii) pipet penghisap yang dioperasikan menggunakan roda kecil pada bagian atas alat penghisap, (iii) alat penghisap dengan bantuan pompa udara secara elektrik. Cairan dihisap kedalam pipet dengan menekan tombol bagian atas dan melepaskan cairan dengan menekan tombol bagian bawah, (iv) pipet mikro, biasanya untuk pengambilan larutan dengan volume yang sangat kecil (mikro liter).

Membersihkan peralatan gelas Metoda konvensional pencucian peralatan gelas dilakukan dengan merendam gelas dalam larutan asam kromat yang diikuti pembilasan dengan air kran dan air destilasi. Karena asam kromat dapat menyebabkan korosif, maka cara ini banyak ditinggalkan kecuali untuk peralatan gelas yang terkontaminasi tinggi. Pencucian yang lebih aman adalah dengan air panas (>70oC) + sabun, diikuti dengan pembilasan dengan air panas dan air destilasi. Peralatan gelas yang telah dicuci, dikeringkan dalam oven pada suhu 150oC dibungkus dengan aluminium foil, kemudian disimpan dalam lemari tertutup.

Sterilisasi Bagian yang sangat penting dalam teknik in vitro adalah sterilisasi bahan tanaman dan media dan menjaga kondisi aseptik yang telah dicapai. Bakteri dan jamur adalah dua kontaminan yang paling banyak dijumpai dalam kultur. Spora jamur sangat ringan dan ada disekeliling lingkungan. Apabila spora jamur kontak dengan media kultur dan kondisinya optimal untuk perkecambahan jamur, maka akan terjadi kontaminasi.

a. Sterilisasi Ruang Kultur dan Transfer
Sterilisasi ruang kultur yang paling baik adalah dilakukan dengan penggunaan sinar ultraviolet (UV). Waktu sterilisasi bervariasi tergantung dari ukuran ruang transfer itu sendiri dan harus dilakukan apabila tidak ada kegiatan dalam ruang tersebut. Radiasi UV sangat berbahaya bagi mata dan kulit. Ruang transfer dapat juga disterilisasi dengan mencuci/mengepel 1-2 kali setiap bulan dengan bahan anti jamur (fungisida) komersial. Ruang kerja dalam laminar flow biasanya sudah dilengkapi dengan lampu UV, sehingga sterilisasinya dilakukan dengan UV dan diikuti dengan membasuh/melap permukaan tempat bekerja dalam laminar dengan alkohol 95% sebelum mulai bekerja. Ruang kultur harus dibersihkan dengan sabun kemudian dilap dengan Na-hypoklorit 2% (merek komersial seperti Sunclin, Bayclin atau pembersih lantai lain yang mengandung disinfektan) atau alkohol 95%. Lantai ruangan dan dinding harus dibesihkan seminggu sekali dengan bahan yang sama.

b. Sterilisasi Peralatan Gelas dan Peralatan Lain. 
Peralatan yang terbuat dari metal, gelas, aluminium foil, dll., dapat disterilsasi dengan cara pengeringan dalam oven pada suhu 130o-170oC selama 2-4 jam. Semua peralatan tersebut harus dibungkus sebelum di oven, tetapi jangan menggunakan kertas karena akan akan terdekomposisi pada suhu 170oC. Sterilisasi dengan menggunakan autoclave tidak dsarankan untuk bahan yang erbuat dari metal karena akan menyebabkan karat. Untuk peralatan diseksi yang akan digunakan pada ruang transfer atau laminar, setelah disterilisasi dalam oven harus direndam dahulu dalam alkohol 96% kemudian dibakar di atas lampu bunsen. Teknik ini disebut sterilisasi pembakaran (flame sterilization). Teknik ini harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena alkohol sangat mudah terbakar. Autoclave adalah metoda sterilisasi dengan menggunakan tekanan uap air. Bahan-bahan atau alat yang dapat disterilisasi dengan cara autoclave ini antara lain kapas penutup tabung, saringan dari nylon, pakaian lab, tutup plastik, peralatan gelas, pipet, air, dan media kultur. Hampir semua mikroba dapat mati bila diautoclave pada suhu 121oC dengan tekanan 15 psi selama 15-20 menit.

c. Sterilisasi Media 
Ada dua metoda untuk sterilisasi media yang umum digunakan, yaitu dengan autoclave dan filter membran. Media kultur, air destilasi dan campuran yang stabil dapat disterilisasi dalam autoclave dengan menggunakan wadah yang ditutup dengan kapas, aluminium foil atau plastik. Akan tetapi, larutan dari bahan-bahan yang bersifat tidak stabil (heat-labile) harus menggunakan filter. Umumnya media diautoclave pada tekanan 15 psi dengan suhu 121oC. Untuk volume larutan per wadah yang sedikit (< 100 ml), waktu yang dibutuhkan adalah 15-20 menit, tetapi untuk jumlah yang besar (2-4 liter) selama 30-40 menit. Tekanan jangan melebhi dari 20 psi karena dapat mengakibatkan dekomposisi karbohidrat dan bahan lain dalam media yang bersifat thermolabile.

Beberapa senyawa yang tergolong dalam kelompok protein, vitamin, asam amino, ekstrak tanama, hormon dan karbohidrat ada yang bersifat thermolabile yang mungkin akan mengakibatkan dekomposisi bila disterilisasi dengan autoclave, sehingga harus disterilisasi dengan filter. Filter Millipore yang mempunyai porositas ± 0.2 mikron (µm) merupakan salah satu filter yang banyak digunakan untuk sterilisasi bahan yang bersifat thermolabile. Peralatan gelas yang akan menampung media yang disterilisasi dengan filter harus sudah disterilisasi dahulu dengan autoclave.

Media yang sebagian mengandung komponen thermolabile, dapat dibuat dengan cara: (i) larutan yang mengandung komponen heat-stable disterilisasi dengan autoclave, kemudian didinginkan sampai suhu 50o-60oC pada kondisi steril (biasanya dalam laminar), (ii) pada bagian lain dalam kondisi yang steril, larutan yang mengandung komponen besifat thermolabile disterilisasi dengan filter, (iii) kedua larutan yang sudah disterilisasi dengan metoda yang berbeda tersebut digabungkan dalam kondisi aseptik. d

d. Sterilisasi Bahan Tanaman 



Mendapatkan bahan tanaman yang steril merupakan hal yang sulit. Meskipun bermacam tindakan pencegahan sudah dilakukan, 95% kultur akan mengalami kontaminasi apabila eksplan tidak didisinfeksi. Organ atau jaringan tanaman harus disterilisasi dengan larutan disinfektan, karena sebagai bahan biologis tidak dapat dilakukan dengan cara pemanasan yang ekstrim.


Tidak ada metoda yang baku untuk sterilisasi eksplan, sehingga waktu perendaman dalam larutan disinfektan merupakan kisaran karena tergantung pada jenis bahan dan tanaman yang akan disterilisasi. Larutan yang digunakan harus yang aman bagi jaringan/eksplan tetapi bersifat dapat membunuh kontaminan baik bakteri maupun jamur. Untuk tanaman berkayu, umbi dll. biasanya sebelum disterilisasi dengan larutan disinfektan harus dibersihkan dahulu dengan sabun dan dibilas dengan air mengalir, tetapi tidak untuk tanaman jenis herbaceous. Semua permukaan eksplan yang disteriliasi harus terendam dalam sterilan, dan setelahnya harus dibilas dengan akuades steril sekurang-kurangnya tiga kali.

Menentukan pH larutan pH larutan diukur berdasarkan konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Skala pH mulai dari 0 (sangat asam) hingga 14 (sangat basa) dan skala 7 adalah titik netral. pH dari media kultur umumnya diatur 5.7 ± 0.1 sebelum diautoclave. pH dapat memengaruhi kelarutan ion-ion di dalam media, kemampuan agar untuk menjadi gel dan selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan sel-sel. Oleh karena itu akurasi pH media menjadi faktor yang penting untk diperhatikan. Umumnya pengukuran pH media menggunakan pH meter.

Read More
Posted by Sepdian Luri A on Wednesday, November 4, 2009


Sebelum melakukan kultur jaringan untuk suatu tanaman, kegiatan yang pertama harus dilakukan adalah memilih bahan induk yang akan diperbanyak. Tanaman tersebut harus jelas jenis, spesies, dan varietasnya serta harus sehat dan bebas dari hama dan penyakit. Tanaman indukan sumber eksplan tersebut kemudian dikondisikan dan dipersiapkan secara khusus agar eksplan yang akan dikulturkan sehat dan dapat tumbuh baik serta bebas dari sumber kontaminan pada waktu dikulturkan secara in-vitro.

Lingkungan tanaman induk yang lebih higienis dan bersih dapat meningkatkan kualitas eksplan. Tanaman sumber eksplan sebaiknya dikondisikan di rumah kaca atau rumah plastik dengan pemeliharaan rutin yang harus dilakukan meliputi: pemangkasan, pemupukan, dan penyemprotan dengan pestisida (fungisida, bakterisida, dan insektisida), sehingga tunas baru yang tumbuh menjadi lebih sehat dan dan bersih dari kontaminan.

Pengaturan lingkungan tanaman yang bersih dan higienis, pengubahan status fisiologi tanaman induk sumber eksplan kadang-kadang perlu dilkukan seperti memanipulasi parameter cahaya, suhu, dan zat pengatur tumbuh. Manipulasi tersebut bisa dilakukan dengan mengondisikan tanaman induk dengan fotoperiodisitas dan temperatur tertentu untuk mengatasi dormansi serta penambahan ZPT seperti sitokinin untuk merangsang tumbuhnya mata tunas baru dan untuk meningkatkan reaktivitas eksplan pada tahap inisiasi kultur (Yusnita, 2003; 20).

Pustaka: Yusnita. 2004. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta

Read More
Posted by Sepdian Luri A on Tuesday, October 20, 2009



Tanaman pisang mempunyai ciri spesifik yang mudah dibedakan dari jenis tanaman lainnya. Tanamannya terdiri dari daun, batang (bonggol), batang semu, bunga, dan buah. Pisang termasuk keluarga musaceae, salah satu anggota ordo scitamineae.

Morfologi tanaman dapat tampak jelas melalui batangnya yang berlapis-lapis. Lapisan ini sebenarnya merupakan dasar dari pelepah daun yang dapat menyimpan air (sukulenta) sehingga lebih tepat disebut batang semu (pseudostem). Daun pisang Cavendish berwarna hijau tua. Lembaran daun (lamina) pisang lebar dengan urat daun utama menonjol berukuran besar sebagai pengembangan dari morfologis lapisan batang semu (gedebog). Batang pisang sesungguhnya terdapat didalam tanah, yaitu yang sering disebut bonggol. Pada sepertiga bagian bonggol sebelah atas terdapat mata calon tumbuh tunas anakan. Bunga pisang yang disebut tongkol yang disebut jantung. Bunga ini muncul dari primordia yang terbentuk pada bonggolnya, perkembangan primordia bunga memanjang keatas hingga menembus inti batang semu dan keluar diujung batang semu tersebut. Panjang Tandan 60 - 100 cm dengan berat 15 - 30 kg. Setiap tandan terdiri dari 8 - 13 sisiran dan setiap sisiran ada 12 - 22 buah. Daging buah putih kekuningan, rasanya manis agak asam, dan lunak. Kulit buah agak tebal berwarna hijau kekuningan sampai kuning muda halus. Umur panen 3 - 3,5 bulan sejak keluar jantung.

Salah satu tanaman buah-buahan yang diperbanyak secara komersial dengan teknik kultur jaringan adalah pisang. Pisang biasanya diperbanyak secara vegetatif menggunakan anakan atau bonggolnya. Ukuran anakan yang cukup besar menyulitkan transportasi bibit dari satu tempat ke tempat penanamannya. Anakan yang diproduksi oleh satu induk pisang ukuran dan umurnya beragam, sehingga sangat sulit untuk memperoleh anakan berukuran seragam dalam jumlah memadai untuk perkebunan pisang secara komersial.

Perbanyakan klonal pisang dengan teknik kultur jaringan dapat mengatasi kendala-kendala tersebut. Metode dan tahapan perbanyakan yang digunakan untuk perbanyakan klonal pisang ini serupa dengan metode perbanyakan lainnya. Teknik yang umum digunakan adalah kultur meristem (meristem culture) atau kultur pucuk (shoot culture), selain itu telah dicoba juga untuk mengkulturkan tangkai bunga inflorescence muda pisang. Pisang Cavendish di Indonesia lebih dikenal dengan Pisang Ambon Putih. Perbanyakan tanaman pisang secara kultur jaringan bertujuan untuk mendapatkan bibit bermutu dalam jumlah banyak dan cepat selama kurun waktu tertentu. Ditinjau dari tujuan tersebut maka adanya bibit kultur jaringan akan mampu mendukung pengembangan kebun agribisnis dalam skala luas. Bibit pisang kultur jaringan adalah bibit yang dihasilkan melalui biakan jaringan (sel meristem) pada media buatan dalam laboratorium (in vitro).

Untuk menghasilkan bibit kultur jaringan yang bermutu, perlu didukung oleh beberapa komponen, yaitu prasarana, bahan kimia untuk pembuatan media, varietas unggul dan tenaga ahli. Prasarana berupa laboratorium yang memenuhi syarat, rumah kaca atau plastik untuk membesarkan bibit yang masih sangat kecil (plantlet), serta peralatan.

Menurut George dan Sherrington (1984) keberhasilan dalam kultur jaringan sangat ditentukan oleh medium yang digunakan. Media yang digunakan untuk perbanyakan klonal pisang ini umumnya adalah media MS. Untuk merangsang pertumbuhan tunas pada eksplan, zat pengatur tumbuh umumnya ditambahkan ke dalam media kultur. Sitokinin BAP (Benzil Amino Purin) umumnya digunakan pada kisaran konsentrasi 3 - 6 ppm tergantung varietas, dengan atau tanpa kombinasi dengan auksin. Keasaman media umumnya adalah 5,5 sampai 6. Inisiasi merupakan proses awal dalam kegiatan kultur jaringan sehingga akan menjadi penentu keberhasilan kultur. Proses pertama dalam inisiasi adalah pengambilan eksplan atau bahan kultur dari lapangan, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan sterilisasi eksplan (Anonim, 2002).

Prosedur kerja inisiasi pisang : Sterilisasi di luar Laminar Air Flow Cabinet 1. Cuci dan kupas eksplan pisang di air mengalir sampai bersih 2. Rendam eksplan pisang dalam larutan fungisida dan bakterisida 2 mg/ L selama 1-24 jam Sterilisasi di dalam Laminar Air Flow Cabinet 1. Rendam dalam larutan clorox 30% selama 15 menit, bilas 2x dengan air steril dan kupas 1-2 pelepah 2. Rendam dalam larutan clorox 15% selama 10 menit, bilas 2x dengan air steril dan kupas 1-2 pelepah 3. Kupas sampai sisa 3 daun pelepah ukuran 1,5x1,5 cm 4. Celup dalam larutan clorox 1% dan tanam di media Lama waktu inisiasi dalam kondisi normal adalah 4 minggu (minimal telah 2x subkultur), selanjutnya masuk tahap multiplikasi.

Aklimatisasi dilakukan apabila tanaman telah di sub kultur sebanyak 4-5 kali. Akan tetapi, bisa saja dilakukan sebelum 12 kali sub kultur hal ini dikarenakan adanya permintaan pasar yang meningkat. Media aklimatisasi disterilisasi dengan cara pengukusan selama 6 jam, hal ini dimaksudkan untuk membunuh mikroorganisme yang ada pada media aklimatisasi sehingga pada saat planlet ditanam di media tersebut tidak akan terkena bakteri/ atau jamur. Selain itu juga, media disemprot terlebih dahulu dengan larutan bakterisida sehari sebelum media digunakan hal ini bertujuan untuk menghindari adanya bakteri-bakteri yang tumbuh dan berkembang pada media selama media disimpan. Aklimatisasi dilakukan selama 4 minggu di dalam sungkup untuk mendapatkan tanaman yang siap di pindah ke lapangan terbuka.

Pustaka Anonim, 2003. Berkebun Pisang Secara Intensif. Redaksi Trubus, Penebar Swadaya. Jakarta. Gunawan. L. W, 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB Bogor. Sutahu suyanti, B. Sc, 2004. Budidaya, Pengolahan dan Prospek Pasar. Penenbar Swadaya, Jakarta.

Read More
Posted by Sepdian Luri A on

About The Author

Sepdian Luri A
View my complete profile

Visitors

Followers

Pagerank

Popular Posts