1.
Kontaminasi
Kontaminasi
merupakan permasalahan mendasar yang sering terjadi pada kultur in vitro. Pada
kondisi media yang mengandung sukrosa dan hara, serta kelembaban dan suhu yang
relatif tinggi, memungkinkan mikroorganisme serta spora jamur tumbuh dan
berkembang dengan pesat. Kontaminasi pada kultur in vitro dapat berasal dari:
· Udara
· Eksplan, baik secara
eksternal maupun internal.
· Organisme kecil
yang masuk ke dalam media, seperti semut.
· Botol kultur serta
alat-alat yang kurang steril.
· Lingkungan kerja
dan ruang kultur yang kotor.
· Kecerobohan
dalam bekerja.
Setiap
eksplan memiliki tingkat kontaminasi permukaan yang berbedan tergantung dari :
· Jenis
tumbuhannya
· Bagian tumbuhan
yang dipergunakan
· Morfologi
permukaan (misalnya berbulu atau tidak)
· Lingkungan
tumbuhnya (Green house atau lapang)
· Musim waktu
pengambilan (musim penghujan atau musim kemarau)
· Umur tumbuhan
(seedling atau tumbuhan dewasa)
· Kondisi
tumbuhannya (sehat atau sakit)
Mikroorganisme
penyebab kontaminasi dapat berupa bakteri, fungi, protozoa, serangga, virus dan
lain-lain. Kontaminasi oleh fungi ditandai dengan munculnya benang-benang halus
yang berwarna putih, yang merupakan miselium fungi. fungi dapat menginfeksi
jaringan secara sistemik sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan jaringan
eksplan akan mati. Selain itu, kontaminasi oleh bakteri ditandai munculnya
bercak-bercak berlendir pada media atau eksplan. Bercak tersebut biasanya
berwarna putih yang merupakan koloni bakteri. Bakteri lebih sulit untuk
dideteksi dibandingkan dengan fungi karena dapat masuk ke dalam ruang antar
sel.
Ada
dua istilah dalam permasalahan kontaminasi, yaitu kontaminasi eksternal dan
kontaminasi internal.
a.
Kontaminasi
eksternal atau kontaminasi permukaan biasanya disebabkan oleh mikroorganisme
yang berasal dari luar eksplan. Respon kontaminasi eksternal ini sangat cepat
karena mikroorganismenya berada permukaan eksplan. Kontaminasi permukaan dapat
diatasi dengan cara :
· Karantina
tanaman induk dalam greenhouse
· Sterilisasi
kontak dengan menyikat eksplan dengan sikat halus
· Pencucian
menggunakan berbagai perlakuan bahan kimia dan durasii sterilisasi.
· Jika permukaan
tanaman ditutupi oleh rambut atau sisik, menggunakan detergen dan digoyang
–goyang untuk mengilangkan gelembung udara yang mungkin mengandung
mikroorganisme.
· Penggunaan
kombinasi bahan sterilan.
b.
Kontaminasi
Internal
Kontaminasi
yang disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari eksplan yang tumbuh dan
berkembang secara bertahap dalam kondisi in vitro. Pertumbuhan dan perkambangan
mikroorganisme internal biasanya muncul beberapa minggu / bulan setelah di
kultur. Kontaminasi internal dapat diminimalisir atau dapat diatasi dengan
cara:
· Karantina
tanaman induk dalam greenhouse
· Menggunakan
HgCl2 , antibiotik dan fungisida sistemik
· Contoh
antibiotik alami yaitu propolis
· Contoh
antibiotika sintetik yaitu Plant Preservative Mixture (PPM), Cefotaxime, Ceftriaxone, Chlorampenicol,
Rifampicin, dll.
· Penggunaan
kombinasi bahan sterilan.
2.
Browning/Pencoklatan
Pencoklatan
adalah suatu keadaan munculnya warna coklat atau hitam yang menyebabkan tidak
terjadi pertumbuhan dan perkembangan atau bahkan menyebabkan kematian pada
eksplan. Pencoklatan umumnya merupakan tanda adanya kemunduran fisiologis eksplan
biasanya eksplan akan mati.
Browning
terjadi akibat pengaruh akumulasi senyawa fenolik yang teroksidasi akibat
stress mekanik atau pelukaan pada eksplan. Senyawa fenol tersebut adalah enzim
polifenol eksidase dan tirosinase. Dalam kondisi oksidatif akibat pelukaan,
enzim tersebut akan secara alami disintesis oleh tanaman sebagai bentuk
pertahanan diri. Menurut Laukkanen et al.
(1999) dalam Hutami (2008), ketika sel rusak, isi dari sitoplasma dan vakuola
menjadi tercampur, kemudian senyawa fenol teroksidasi menghambat aktivitas
enzim. Senyawa fenol yang berlebihan akan bersifat racun yang merusak jaringan
eksplan dan akhirnya menyebabkan kematian eksplan (Corduk and Aki, 2011).
Menurut
George dan Sherrington (1984) ada beberapa cara untuk menanggulangi masalah
pencokelatan, seperti:
a.
Meminimalisir
senyawa fenol
· -Transfer
eksplan ke media baru
· - Penambahan
arang aktif untuk menonaktifkan enzim peroksidase.Enzim tersebut merupakan kelompok enzm oksidoreduktase yang berperan sebagai katalis reaksi oksidasi senyawa
fenol.
· - Penggunaan
PVP (Polivenolpirolidon) untuk mengikat senyawa fenol agar tidak teroksidasi
· - Penambahan
antioksidan seperti Asam askorbat, PPVP (polivinilpolipirolidon) dan DTT (1,4-ditio- DL-treitol)
untuk menurunkan akumulasi peroksidase
· - Pencucian
eksplan pada air mengalir
b.
Modifikasi
Potensial Redoks
·
Penggunaan
asam askorbat (C6H8O6) untuk menghambat reaksi oksidasi senyawa fenolik, karena
asam askorbat memiliki potensial redoks yang rendah serta mampu mengikat
oksigen
·
Perendaman
eksplan dalam air pasca pemotongan dari tanaman induk mampu menekan oksidasi
dari oksigen bebas.
c.
Penghambatan
Aktifitas Enzim Fenol Oksidase
·
Penggunaan
Ethylene Diamine Tetra Acetate (EDTA) dapat menghambat aktivitas polifenol
oksidase dengan mengikat ion-ion seperti Cu++ Co++, dan Zn++, yang mempu
menjadi senyawa fenol ketika teoksidasi
·
EDTA
Juga dapat mengganggu aktivitas enzim peroksida.
d.
Penurunan
Aktifitas Fenolase
- Penggunaan Asam askorbat mampu menurunkan pH, karena pH optimum enzim Fenol Oksidase berkisar antara 4,0-7,0.
- Penggelapan selama ± 14 hari mampu menekan aktifitas fenolase. Cahaya mempengaruhi sintesa enzim pada pigmen, oksidasi fenol akan meningkat dengan adanya cahaya (Creasy, 1968 dalam Hutami, 2008).
3.
Senescence
Senescence
dicirikan dengan menguningnya daun karena penurunan jumlah klorofil dan
kloroplas (Gut et al., 1987 dalam
Ryun Woo et al., 2001). Secara alami
senescence timbul akibat dari kematian sel yang dilakukan oleh tanaman itu
sendiri (Programmed Cell Death / PCD), karena pengaruh umur dan cekaman
lingkungan sekitar (Yoshida, 2003).
Berkurangnya
unsur hara merupakan salah satu bentuk cekaman lingkungan dari tanaman in
vitro, karena pertumbuhan tanaman sangat tergantung pada media di dalam botol.
Semakin lama media tersebut akan berkurang dan mengakibatkan proses metabolisme
tanaman in vitro akan menjadi lambat. Menurut Schippers et al. (2007), kekurangan nitrogen dapat mempercepat senescence
pada daun, tetapi peranan hormon juga menentukan prerkembangan proses
senescence pada daun. Senescence dapat pula terjadi akibat berkurangnya
kandungan sitokinin dalam media, karena sitokinin berperan dalam pembentukan
kloroplas dan menghambat penuaan (senescence) (Wattimena, 1992; Parthier, 2004;
Srivastava, 2001; Gan and Amasino, 1995). Sitokinin juga berpengaruh terhadap
distribusi nutrisi menuju ke daun dari bagian-bagian tanaman yang lain (Taiz
and Zeiger, 2010).
Selain
itu, kondisi cekaman aerasi juga dapat menjadi penyebab senescence pada tanaman
in vitro. Menurut Jackson et al.
(1994); Jackson (2003), dalam kondisi in vitro mengharuskan tanaman untuk
tumbuh dalam botol yang tertutup rapat, semakin lama tanaman akan kesulitan
mendapatkan oksigen dan karbondioksida sementara itu etilen akan terus
terakumulasi. Lebih lanjut, He et al.
(1996); Wang et al. (2002);
Bailey-Serres and Chang (2005); Peng et
al. (2005); Drew et al. (1979)
dalam Geisler-Lee et al. (2010),
menyatakan bahwa dalam kondisi anoksia, akan terjadi peningkatan prekursor
etilen (1-Aminocyclopropane-1-Carboxylate (ACC) Sintase (ACS) dan ACC Oksidase
(ACO)) dan berakibat pada peningkatan konsentrasi etilen. Akumulasi etilen akan
menghambat pertumbuhan planlet dan dapat memacu senescence pada daun (Aharoni
and Lieberman, 1979; Grbic and Bleecker, 1995; Jing et al., 2002; Jing et al.,
2005).
4.
Eksplan Dorman
Eksplan
yang mengalami dorman terlihat tidak mampu merespon zat pengatur tumbuh tetapi
dari fisik eksplan tersebut masih terlihat segar. Terjadinya dormansi pada
eksplan diduga akibat senyawa fenolik yang masih tersisa dalam eksplan. Senyawa
fenol tersebut keluar secara osmosis menyebar di sekitar eksplan dan mengganggu
distribusi hormon dan nutrisi dari media, sehingga sel-sel tidak merespon media
perlakuan. Menurut Corduk and Aki (2011); Kaewubon and Meesawat (2009),
akumulasi senyawa fenol dalam media menyebabkan eksplan kehilangan kemampuan
untuk tumbuh selama masa kultur. Sakakibara et
al. (2004) menyatakan bahwa senyawa fenol mampu mengaktifkan enzim
sitokinin oksidase (CKX) yang mampu mendegradasi sitokinin.
Dalam
upaya pencegahan agar tidak mendapati eksplan yang dorman dapat dilakukan
dengan menghindari bahan tanam yang tidak juvenil atau tidak meristematik.,
Karena awal pertumbuhan eksplan akan dimulai dari sel-sel yang muda yang aktif
membelah, atau dari sel-sel tua yang muda kembali. Selain itu dapat dicegah
dengan penggunaan media kultur yang cocok.
5.
Hiperhidrisitas
Hiperhidrisitas
atau yang biasa disebut dengan istilah vitrivikasi merupakan gelaja pertumbuhan
planlet yang tidak normal atau ketidak normalan morfologi dan fisiologis. akibat
stress yang tibul karena pelukaan, tidak optimalnya media kultur maupun lingkungan
mikro (wadah kultur) (Kevers et al.,
2004). Lebih lanjut, Rice et al., 1992 menyatakan bahwa kadar ammonium
dan kandungan uap air yang berlebihan didalam wadah kultur juga dapat
menyebabkan gejala tersebut. Hal tersebut juga berkaitan dengan kosentrasi
sitokinin yang terlalu tinggi, rendahnya potensial matriks, dan meningkatnya
kosentrasi etilen didalam wadah kultur (Kevers et al., 1984). Uap air akan menyebabkan media menjadi berair serta
sitokinin juga mempengaruhi sel dalam menyerap air, sehingga air akan
terakumulasi pada apoplast. Seperti penelitian yang dilakukan Rojes-martinez et al., 2010 bahwa hiperhidrisitas dapat
terjadi akibat kondisi jenuh air dan akumulasi gas pada wadah kultur. Kondisi
tersebut juga merupakan kondisi anoksia.
Hiperhidrisitas
tentunya tidak diharapkan pada kultur in vitro. Tanda-tanda Hiperhidrisitas,
seperti:
· Tanaman yang dihasilkan pendek-pendek atau kerdil,
seringkali tidak mempunyai internodus atau juga memiliki internodus yang
berhimpitan.
· Pertumbuhan
batang cenderung kearah pertambahan diameter
· Daunya memiliki
kecenderungan melebar pada bagian pangkal, akhirnya helaian berbentuk seperti
panah.
· Daun memiliki
klorofil yang sedikit di bandingan dengan yang normal
· Tanaman terlihat
lemah dan tembus cahaya karena mengandung banyak air
6.
Variabilitas
Genetik
Variabilias
genetik dapat dikatakan menjadi salah satu kendala dalam kultur in vitro
apabila tujuan pengkulutran tersebut untuk upaya perbanyakan tanaman yang
seragam dalam jumlah yang banyak, dan bukan sebagai upaya pemuliaan.
Variabilitas genetik dapat disebabkan oleh Subkultur berulang tanpa terkontrol
atau juga disebabkan oleh metode kultur yang tidak sesuai.
7.
Eksplan Gosong
Istilah
“Eksplan gosong” bukan berarti eksplan tersebut hangus terbakar, akan tetapi
ada bagian tertentu pada eksplan dimana selnya menjadi mati, tetapi bukan
akibat browning. Sering kita mendapati eksplan yang ditanam menjadi mati, atau
ada bagian pada eksplan yang mati dalam beberapa hari saja. Mengidentifikasi
eksplan gosong memang agak sulit karena ciri-cirinya menyerupai browning. Tetapi
secara visual, eksplan gosong sama seperti daun yang direndam beberapa menit
dalam air panas.
Eksplan
gosong dapat terjadi akibat:
· Konsentrasi
bahan sterilan yang terlalu pekat
· Kesahalahan
pemilihan bahan sterilan
· Durasi sterilisasi yang terlalu lama
· Kerusakan
mekanis akibat penggoyangan yang terlalu keras
· Media yang
digunakan tidak cocok, atau kesalahan dalam membuat media
· Peralatan
dissecting set masih panas saat digunakan untuk memotong atau menanam eksplan
Agar
tidak mendapati eksplan yang gosong, ada beberapa tindakan pencegahan, seperti:
· Penggunaan bahan
sterilan dan durasi sterilisasi dioptimalkan
· Penggoyangan
eksplan pada saat sterilisasi jangan terlalu kuat
· Memastikan alat
yang digunakan telah dingin pasca sterilisasi alat menggunakan lampu Bunsen.
Atau setidaknya panas akibat sterilisasi tersebut dipastikan tidak melukai sel
eksplan.